Selama ini, kehutanan dan pertanian adalah dua kekuatan yang berlawanan dalam benak saya. Yang satu melestarikan alam; yang lain menjinakkannya. Yang satu adalah pertumbuhan ekosistem yang sabar dan kacau selama berabad-abad; yang lain, produksi panen yang teratur dalam satu musim. Gagasan untuk menggabungkan keduanya dalam “agroforestri” terasa seperti kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan.
Perspektif saya mulai berubah bukan di ruang kelas, melainkan di lapangan. Saya adalah manajer proyek untuk inisiatif restorasi lingkungan, sebuah peran yang sering kali lebih menghargai jalur kritis daripada ilmu tanah, tetapi menempatkan saya pada persimpangan yang menarik antara manusia dan ekosistem. Strateginya adalah memberdayakan masyarakat untuk menjadi penjaga hutan dengan mengintegrasikan mata pencarian mereka ke dalam lanskap.
Saya ingat suatu sore, berdiri di dalam sebidang tanah di mana udara terasa hening. Satu-satunya gerakan adalah tarian cahaya yang lambat di lantai hutan, menyaring melalui kanopi lebat untuk menyebar dalam pola yang bergeser dan fana pada pakis. Saya kemudian mengetahui ada kata dalam bahasa Jepang yang menangkap tidak hanya pemandangan, tetapi juga perasaan ketenangan dan keindahan sesaat yang ditimbulkan oleh cahaya berbintik ini: komorebi (木漏れ日).
Dalam pengamatan komorebi yang tenang, dikotomi yang saya pegang dalam benak saya perlahan larut. Kanopi bukanlah penghalang melainkan filter, yang secara selektif membagikan energi matahari untuk menciptakan mozaik peluang. Kehidupan dapat berkembang di ruang di antara bayangan. Ini bukan pertarungan untuk cahaya, melainkan sistem koeksistensi. Cahaya komorebi menjadi metafora sempurna untuk proyek itu sendiri—penyaringan peluang yang lembut yang menyehatkan sistem tanpa membanjirinya.
Pengalaman ini mengubah pertanyaan saya dari “jika” menjadi “bagaimana”. Masalahnya bukan lagi mana yang lebih dulu, hutan atau pertanian, melainkan, bagaimana kita mengelola komorebi? Apakah kita dengan hati-hati memangkas kanopi untuk menyambut tanaman yang menyukai naungan? Atau apakah kita menanam pohon baru di lahan terbuka, menjadi arsitek bayangan baru untuk memulihkan lanskap yang terdegradasi?
Kata “hasil” juga didefinisikan ulang. Efisiensi brutal dari ladang monokultur, yang terpanggang di bawah terik matahari yang tak kenal ampun, menghasilkan panen yang rapuh. Kelimpahan yang tangguh dari sistem agroforestri seperti lantai hutan itu sendiri—bukan satu petak hasil yang mencolok, tetapi ribuan keping cahaya, masing-masing menyehatkan sesuatu yang berbeda. Hasil sebenarnya adalah jumlah dari kehidupan berlapis ini—kayu, buah, herbal obat, nitrogen terikat, mikroba yang berkembang biak, dan jaringan jamur.
Saya bukan seorang ekolog, tetapi saya memahami bahwa ekosistem yang sehat adalah mahakarya manajemen cahaya. Risiko besar dari proyek agroforestri yang dirancang dengan buruk adalah bahwa ia salah memahami komorebi. Ia mungkin membersihkan terlalu banyak kanopi atas nama produktivitas, menghancurkan keseimbangan yang rapuh dan membiarkan tanah terbuka. Pertanyaan yang memisahkan keberhasilan dari kegagalan adalah demikian lugas: apakah ini sistem ekstraktif yang menggunakan hutan untuk keuntungan, atau sistem regeneratif yang merancang pertanian agar berfungsi seperti hutan?
Saya tidak melihat agroforestri sebagai solusi ajaib. Bagi saya, ini adalah filosofi, seperangkat alat yang membutuhkan kerendahan hati dan keintiman yang mendalam dengan tanah. Ini meminta kita untuk menggeser perspektif kita dari oposisi menjadi hubungan. Waktu saya di lapangan tidak memberi saya semua jawaban. Sebaliknya, itu memberi saya sesuatu yang lebih saya hargai—tempat untuk menemukan pertanyaan yang tepat. Saya belajar bahwa pertanyaan-pertanyaan paling vital tidak ditemukan dalam silau keras lapangan terbuka atau kegelapan total hutan yang tak tersentuh, tetapi lahir dalam cahaya komorebi yang lembut dan berbagi … di ruang di antara pepohonan.


