Kami merancang proyek lingkungan dengan spesifikasi teknis yang sempurna. Kami mengukur pH tanah, kandungan karbon, dan retensi air. Namun, apa yang terjadi jika variabel paling krusial sama sekali tidak tercantum dalam lembar spesifikasi?
Artikel ini adalah refleksi atas pekerjaan saya di Nusa Tenggara Timur dan pelajaran yang saya peroleh dari para petani perempuan di sana. Ini tentang bagaimana keberhasilan rencana ekologis kami yang paling ambisius sering kali tidak bergantung pada teknologi, melainkan pada kesediaan kita untuk memahami realitas yang sangat menekan dari “Variabel 4 Pagi.”
Dalam dunia desain proyek lingkungan, kita terobsesi pada detail teknis. Kita mengejar pH tanah yang ideal, laju penyerapan karbon yang tepat, dan spesies optimal untuk reboisasi. Namun, proyek-proyek ini sering kali berhasil atau gagal berdasarkan satu variabel tunggal yang tidak tercantum dalam lembar spesifikasi: realitas hidup orang-orang yang terdampak.
Sebuah proyek yang saya kerjakan di Nusa Tenggara Timur, di atas kertas, adalah model desain ekologis terintegrasi. Kami telah memilih varietas bambu tertentu karena kemampuannya untuk menghidrasi kembali tanah yang kering dan menstabilkan lereng bukit yang rentan terhadap erosi katastropik. Model kami memproyeksikan hasil ideal untuk mengembangkan ekonomi lokal yang baru dan berkelanjutan. Namun di balik tujuan praktis ini terdapat tujuan yang lebih mendalam dan manusiawi—pemberdayaan petani lokal untuk menjadi penjaga aktif hutan yang mereka sebut rumah.
Edukasi sejati dimulai ketika kami mulai bekerja sama secara erat dengan “Mama Bambu”—para perempuan yang menjadi tulang punggung komunitas pertanian ini. Ini adalah sebuah kehormatan yang membuka mata saya pada realitas yang tidak dapat diantisipasi oleh rencana proyek mana pun: beban yang sangat besar dan menekan dari jadwal harian mereka. Hari mereka dimulai bukan saat fajar, melainkan dalam kegelapan sebelum fajar pada pukul 4 pagi, menyiapkan makanan untuk keluarga mereka. Ini diikuti oleh pekerjaan rumah tangga, setelah itu dimulailah perjalanan berat ke lahan pertanian mereka—sering kali berupa jalan kaki yang melelahkan selama tiga puluh menit menyusuri jalur yang curam dan berdebu melalui bukit-bukit yang menanjak dan lembah-lembah yang menurun.

Foto Oleh Yoakim Philipus Nanga, “Mama Membajak” Ngada 2023
Di sinilah variabel proyek terpenting menjadi fokus. Teknik baru, pertemuan baru, persyaratan baru—betapapun bermanfaatnya—adalah tuntutan tambahan pada jadwal yang sudah tidak memiliki ruang. Kami menyadari bahwa setiap intervensi, tanpa pemahaman mendalam tentang realitas ini, berisiko menjadi bukan dukungan, melainkan hanya satu beban tambahan.
Realisasi ini memaksa kami untuk mendefinisikan ulang keberhasilan. Proyek yang berhasil bukanlah proyek yang secara sempurna melaksanakan rencana yang telah ditulis sebelumnya. Ini adalah proyek yang memiliki kerendahan hati untuk menyesuaikan diri dengan ritme dan batasan komunitas yang dilayaninya. Tujuan bergeser dari sekadar mentransfer teknologi menjadi membangun fondasi kepercayaan yang begitu dalam sehingga para perempuan merasa diberdayakan untuk memberi tahu kami apa yang benar-benar akan berhasil bagi mereka. Sebagai contoh, rencana awal kami untuk sesi pelatihan terstruktur setengah hari dengan cepat ditinggalkan. Kami beradaptasi, mengadakan pertemuan singkat yang lebih informal langsung di lahan pertanian mereka pada waktu yang mereka tentukan. Data paling berharga yang kami kumpulkan bukan dari sampel tanah, melainkan dari percakapan-percakapan ini yang mengungkapkan realitas hidup mereka yang tidak dapat ditawar.
Meskipun kita harus terus mengejar keunggulan teknis, kita tidak boleh melupakan variabel yang hilang ini. Model pengelolaan lingkungan yang paling elegan tidak berguna jika memaksakan jadwal yang tidak dapat dipenuhi oleh seorang ibu dengan tiga anak. Pada akhirnya, proyek lingkungan tidak boleh dibangun hanya di atas teknologi. Mereka harus dibangun di atas empati. Mereka berhasil ketika mereka berhenti memaksakan solusi dan mulai melayani orang-orang yang, pada gilirannya, melayani tanah.


